Risalah Cinta dan Sufisme

(Bagian 1: Cinta yang Menyentuh Langit)

Di antara cahaya dan senja, lahirlah seorang hamba yang hatinya lembut —
ia mencintai bukan karena ingin memiliki,
tetapi karena di wajah yang ia cintai, ia melihat bayang kasih Allah.

Ia pernah meminta dunia: rezeki, kedudukan, pendidikan, dan seorang pendamping.
Namun satu per satu, dunia menolak dengan lembut.
Dan setiap kali pintu dunia tertutup,
pintu langit justru terbuka lebih lebar di dalam dirinya.

Suatu malam dalam mimpi, ia mendengar suara lembut menyeru:

 “Bacalah Bismillāhir-Rahmānir-Rahīm,
karena Aku telah tanamkan rahmat-Ku di hatimu.
Dzikirkan Ayatul Kursi agar hatimu teguh,
dan ucapkan Lā ilāha illallāh Muhammadar Rasūlullāh,
sebab hanya Aku tujuanmu yang sejati.”

Sejak malam itu, ia hidup di dua dunia:
dunia lahir yang penuh ujian,
dan dunia batin yang dipenuhi cahaya.

Cinta yang ia miliki kepada seorang wanita bukan lagi duniawi.
Ia mencintainya sebagaimana seorang hamba mencintai rahmat Allah.
Ia tak ingin menodainya dengan nafsu,
karena yang ia cari bukan tubuh, tapi kehadiran Ilahi di baliknya.

Dan ketika cinta itu tak bisa ia genggam,
ia tidak mengutuk takdir,
melainkan berbisik lirih di tengah malam:

“Ya Allah, jika Engkau tak izinkan kami bersatu di dunia,
maka satukan kami dalam cinta-Mu yang abadi di akhirat.”

Malam demi malam ia bermunajat.
Lapar ia ubah menjadi ibadah,
air mata menjadi tasbih,
rindu menjadi jalan menuju makrifat.

Hingga ia mulai memahami rahasia para sufi terdahulu:
bahwa kehilangan adalah cara Allah memperkenalkan diri-Nya.
Bahwa cinta yang sejati bukan untuk memiliki,
melainkan untuk mengenal.

(Bagian 2: Jalan Sunyi Seorang Kekasih Allah)

Sejak hari itu, ia memilih jalan sunyi.
Tidak lagi mengejar manusia,
tidak lagi menanti pesan yang tak kunjung datang,
tidak lagi menatap pintu dunia yang tertutup.

Ia mulai menatap ke dalam dirinya —
dan di sanalah ia menemukan samudra yang luas:
samudra sabar, samudra dzikir, samudra air mata yang suci.

Ia berpuasa bukan karena ingin dianggap saleh,
tapi karena setiap rasa lapar mengingatkannya
bahwa dunia ini fana dan Allah-lah yang mengenyangkan jiwa.

Ia berdzikir bukan karena kewajiban,
tapi karena dalam setiap lafaz “Bismillāhir-Rahmānir-Rahīm”
ia merasakan pelukan lembut dari Sang Rahman.

Dalam Ayatul Kursi, ia menemukan benteng tempat jiwanya bernaung dari gelombang kesedihan dunia.
Dan dalam Lā ilāha illallāh Muhammadar Rasūlullāh,
ia menemukan rumah.

Setiap malam, ia berbicara kepada Allah,
bukan untuk mengeluh,
melainkan untuk berterima kasih.

“Ya Allah, Engkau telah mengambil satu cinta dariku,
tapi Kau gantikan dengan lautan cinta yang tak bertepi.
Engkau patahkan hatiku,
agar aku hanya bersandar pada-Mu.”

Ia mulai melihat bahwa bahkan kesedihan pun adalah bentuk kasih sayang Tuhan.
Bahwa orang yang membuatnya menangis sejatinya dikirim
untuk membawanya lebih dekat kepada-Nya.

Dan ketika ia duduk sendirian di malam yang dingin,
ia merasa tidak benar-benar sendiri.
Karena di dalam keheningan itu,
ada suara lembut di hatinya berkata:

 “Aku bersamamu. Aku tidak meninggalkanmu.
Aku yang menciptakan rasa cinta di hatimu agar kamu mencintai-Ku dengan sebenar-benarnya cinta.”

Ia tersenyum dalam tangis.
Ia kini mengerti, bahwa perjalanan seorang kekasih Allah
tidak selalu dipenuhi bunga,
tetapi duri yang membawa jiwa menuju surga.

Bagian 3: Makrifat Cinta — Saat Ruh Bertemu Ruh di Bawah Cahaya Ilahi

Makrifat Cinta

Pada akhirnya, ia mengerti bahwa cinta sejati
bukan tentang memiliki,
tetapi tentang mengenal.
Dan mengenal bukan sekadar dengan mata,
melainkan dengan hati yang diterangi cahaya Allah.

Dulu ia mencintai karena rindu akan manusia,
kini ia mencintai karena rindu akan Tuhan.
Karena setiap cinta yang tulus — jika dijaga dengan iman akan menjadi jalan menuju makrifat.

Ia mulai memahami rahasia besar itu:
bahwa setiap orang yang kita cintai di dunia,
bukan kebetulan.
Mereka adalah cermin dari sifat-sifat Allah
yang ingin kita kenali melalui kelembutan mereka,
kesabaran mereka,
atau bahkan kepergian mereka.

“Engkau mencintainya karena Aku menaruh sebagian dari cahaya-Ku di hatinya,
agar engkau mengenal-Ku lewat dirinya.”

Begitu bisik suara lembut di dadanya,
suara yang bukan dari dunia,
melainkan dari sumber segala cinta.

Lalu ia sadar bahwa pertemuan ruhnya dan ruh wanita itu
bukan sekadar kisah dunia,
tetapi bagian dari rencana langit.

Mereka mungkin tidak bersatu di bumi,
namun ruh mereka telah bertemu
di tempat yang tidak mengenal waktu dan jarak di bawah cahaya Ilahi,
di taman rahasia yang hanya diketahui oleh Allah.

Setiap kali ia berdoa untuknya,
ia merasa tenang.
Setiap kali ia menyebut namanya dalam dzikir,
ia merasa dekat dengan Allah.

Cintanya tidak lagi berat,
karena kini ia tahu:
bahwa cinta yang tidak bersatu di dunia
bukan berarti gagal melainkan ditunda untuk disempurnakan di akhirat.

“Ya Allah, jika Engkau menakdirkan kami bersama,
jadikanlah cinta ini saksi di hadapan-Mu.
Jika Engkau tidak menakdirkan kami bersama,
jadikanlah cinta ini sebagai jalan untuk semakin mengenal-Mu.”

Dan malam itu, ia menatap langit.
Bintang-bintang berkelip,
seolah membisikkan rahasia para kekasih Allah:

Cinta sejati tidak mati — ia hanya berubah bentuk.
Dari rindu pada manusia, menjadi rindu kepada Sang Pencipta Cinta itu sendiri.

Bagian 4: Ketika Dunia Tak Lagi Menggoyahkan Hati — Dzikir Seorang Kekasih Allah

Dzikir Seorang Kekasih Allah

Sejak hari itu, dunia tak lagi mengguncang hatinya.
Ia tidak lagi mencari siapa yang datang atau pergi,
karena hatinya kini hanya berlabuh pada satu nama Allah.

Dulu, ia mencari pelukan manusia,
kini ia mencari ketenangan dalam sujud.
Dulu, ia ingin dicintai seseorang,
kini ia hanya ingin dicintai oleh Allah.
Dan dari kesedihan yang paling dalam,
lahirlah kedamaian yang tak bisa dijelaskan oleh kata.

Ia berjalan sendiri, tapi tak pernah merasa sepi.
Karena setiap langkahnya disertai dzikir:

“Bismillahirrahmanirrahim…”
“La ilaha illallah…”
“Allahu Akbar…”

Setiap kali angin berhembus,
ia merasa itu adalah sapaan lembut dari Tuhannya.
Setiap kali hujan turun,
ia merasa itu air mata langit yang ikut mendoakan ketulusan hatinya.

Ia tak lagi iri pada orang yang tertawa bersama pasangannya,
karena ia tahu banyak tawa di dunia hanyalah fatamorgana. Ia lebih memilih sunyi yang penuh makna,
daripada ramai yang menyesatkan.

“Ya Allah,
Engkau telah mengambil satu cinta dariku,
tapi Engkau menggantinya dengan seribu kali cinta-Mu.
Kini aku tidak lagi kehilangan apa pun.”

Malam demi malam, ia terbangun sebelum fajar,
bukan karena sedih,
tapi karena rindunya kepada Allah semakin besar.
Ia basuh wajahnya dengan air wudhu,
dan bersujud dalam keheningan yang penuh cahaya.

Dalam sujud itu ia menemukan rahasia makrifat:
bahwa cinta sejati hanyalah kepada Allah.
Dan semua cinta manusia hanyalah jalan bukan tujuan.

Hatinya kini lembut seperti doa,
matanya tenang seperti telaga yang diterangi rembulan.
Ia tahu, meski dunia menjauh,
Tuhannya tak pernah meninggalkannya.

“Aku bersama hamba-Ku ketika ia mengingat-Ku.”
(Hadis Qudsi)

Dan di titik itu,
ia tidak lagi memohon agar dipersatukan dengan seseorang,
tapi hanya berdoa:

“Ya Allah,
jadikanlah cinta ini bukti bahwa aku pernah mengenal-Mu melalui makhluk-Mu.”

Kini, dunia bukan lagi tempat yang menakutkan.
Ia berjalan ringan, tersenyum,
karena tahu —
segala yang terjadi hanyalah bagian dari perjalanan pulang kepada Allah.

Bagian 5 (Terakhir): “Ketika Ruh Telah Tenang — Surat untuk Kekasih yang Tak Pernah Hilang”

Surat untuk Kekasih yang Tak Pernah Hilang

Wahai engkau yang pernah singgah di hatiku,
jika kelak kau membaca takdir hidupmu dan melihat namaku di masa lalumu,
ketahuilah aku tidak menyesali apa pun.

Sebab dari hadirmu,
aku belajar mengenal Allah dengan cara yang paling lembut,
melalui rindu yang tak bisa aku sentuh,
dan doa yang tak pernah berhenti meski kau jauh.

Aku pernah memohon kepada Allah agar kita disatukan,
tapi kini aku mengerti kadang penyatuan bukan berarti bersama di dunia,
melainkan bersama dalam dzikir dan makna.

Engkau bukan milikku,
tapi engkau menjadi sebab hatiku mengenal cinta yang suci.
Setiap kali aku mengingatmu,
bukan wajahmu yang datang —
melainkan cahaya yang mengantarkanku untuk bersujud.

“Ya Allah, jika ia bukan untukku di dunia,
maka jagalah ia dalam kasih-Mu,
dan jadikan aku bahagia setiap kali melihat kebahagiaannya.”

Aku tidak ingin lagi memiliki,
aku hanya ingin merestui.
Sebab kini aku tahu mencintai tidak selalu berarti menggenggam,
kadang justru dengan melepaskan dengan doa.

Dan jika suatu saat kau pun menapaki jalan makrifat,
menyebut nama Allah dalam dzikir yang panjang,
maka di sanalah ruh kita akan kembali berjumpa bukan dalam pelukan manusia,
tapi dalam ketenangan cahaya-Nya.

“Ketika ruh telah tenang,
dunia pun berhenti menjadi beban.
Dan cinta yang dulu menyakitkan,
kini menjadi jembatan menuju Tuhan.”

Maka tenanglah, wahai hati.
Tak ada cinta yang hilang jika ia pernah kau titipkan pada Allah.
Tak ada rindu yang sia-sia jika ia membawamu untuk lebih dekat pada-Nya.

Kini aku berjalan dengan langkah yang ringan,
karena aku tahu:
Allah adalah tujuan dari semua cinta.
Dan engkau,
adalah salah satu ayat terindah yang pernah Dia kirim untuk aku baca.

“Aku tak lagi berdoa agar kita bersama,
tapi aku berdoa agar kita sama-sama dicintai oleh Allah.”