Mengungkap Sejarah Panjang dan Derita Etnis Rohingya: Dari Kejayaan Hingga Pengusiran Massal
Ketika mendengar nama "Rohingya", dunia langsung teringat pada penderitaan, pengusiran, dan kekerasan yang menimpa komunitas minoritas Muslim di Myanmar ini. Namun, sedikit yang benar-benar memahami akar permasalahan yang begitu kompleks dan mendalam.
Konflik Rohingya bukan semata-mata persoalan agama, tetapi juga mencakup sejarah kolonialisme, politik identitas, dan pergolakan etnis yang telah berlangsung berabad-abad.
Artikel ini mencoba memaparkan perjalanan panjang Rohingya dalam bingkai piramida terbalik dimulai dari fakta paling penting menuju detail sejarah yang membentuk realitas pahit yang mereka hadapi hari ini.
Krisis Kemanusiaan Rohingya: Konflik yang Tak Kunjung Usai
Sejak tahun 2017, dunia dikejutkan dengan tragedi kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar. Ribuan orang tewas, ratusan ribu lainnya mengungsi ke Bangladesh dan negara-negara tetangga, membawa serta luka dan trauma yang mendalam.
Pengusiran brutal ini dilakukan oleh militer Myanmar dengan dalih keamanan nasional, namun berbagai lembaga internasional, termasuk PBB, mengecam tindakan tersebut sebagai pembersihan etnis.
Tragedi ini bukanlah peristiwa tunggal atau tiba-tiba. Konflik terhadap Rohingya berakar pada sejarah panjang diskriminasi dan marginalisasi yang telah berlangsung sejak berabad-abad silam. Bahkan, hingga hari ini, Rohingya tetap tidak diakui sebagai salah satu dari 135 suku resmi Myanmar, membuat mereka stateless alias tanpa kewarganegaraan.
Asal-Usul Etnis Rohingya di Tanah Arakan
Sejarah mencatat bahwa keberadaan Rohingya di wilayah Arakan (sekarang Rakhine) sudah berlangsung sejak abad ke-7 hingga abad ke-17. Mereka adalah hasil dari berbagai gelombang migrasi Indo-Arya yang datang dari Persia, Arab, dan Benggala.
Kehadiran mereka sempat disambut baik oleh Kerajaan Arakan yang kala itu berhasil memadukan budaya Islam dan Buddha. Orang-orang ini kemudian menetap, beranak pinak, dan mengembangkan bahasa serta tradisi sendiri yang kemudian dikenal sebagai etnis Rohingya.
Secara fisik, Rohingya memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dari etnis mayoritas Burma: kulit lebih gelap, berpostur pendek, berambut ikal, dan berwajah mirip dengan masyarakat Bangladesh. Perbedaan ini, yang tampak sederhana, menjadi salah satu pemicu identitas yang dikotakkan secara sosial dan politik.
Invasi, Kolonialisme, dan Awal Ketegangan Etnis
Kerajaan Arakan tak luput dari invasi berbagai kerajaan besar di masa lalu. Tahun 1546, kerajaan Taungu menyerang, diikuti oleh kerajaan Konbaung pada tahun 1784 di bawah pimpinan Raja Bodaupaya. Invasi Konbaung begitu merusak, tidak hanya menghancurkan peradaban Arakan tetapi juga mengusir banyak penduduk Muslim ke Benggala. Keberadaan Islam di wilayah itu pun hampir musnah.
Situasi berubah saat Inggris datang pada tahun 1824 dan menaklukkan Burma. Pada tahun 1826, Arakan resmi menjadi wilayah kolonial Inggris. Dalam masa penjajahan ini, Inggris mendatangkan kembali komunitas Rohingya, namun kali ini dalam status pekerja paksa dan budak. Kebijakan Inggris yang memanfaatkan Rohingya sebagai tenaga kerja memicu ketegangan dengan etnis lain yang sudah tinggal di wilayah tersebut.
Perang Dunia II dan Pecahnya Konflik Baru
Ketegangan semakin memuncak ketika Jepang menyerang Burma pada tahun 1942. Inggris yang berusaha mempertahankan kekuasaannya merekrut komunitas Muslim Rohingya sebagai milisi melawan Jepang, dengan iming-iming akan memberikan wilayah Arakan sebagai "tanah air Muslim" setelah perang usai. Pasukan gerilya yang bernama V Force pun dibentuk.
Keputusan ini berdampak fatal. Etnis Arakan dan Burma menganggap Rohingya sebagai antek penjajah. Ketika Jepang dikalahkan dan Burma memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1948, Inggris tidak melibatkan Rohingya dalam perundingan atau proses pembentukan negara baru. Mereka dibiarkan tanpa status, tanpa tanah, dan tanpa pengakuan.
Setelah Kemerdekaan: Diskriminasi dan Pengusiran
Pasca-kemerdekaan, pemerintah Burma hanya mengakui 135 kelompok etnis resmi Rohingya tidak termasuk di dalamnya. Mereka kehilangan hak-hak sipil dasar, mulai dari hak atas kewarganegaraan hingga akses pendidikan dan pekerjaan. Kehadiran mereka dianggap ilegal, dan stigma sebagai "penjajah" Inggris terus melekat.
Kondisi ini mendorong munculnya kelompok-kelompok perlawanan bersenjata di kalangan Rohingya yang berusaha memperjuangkan pengakuan identitas dan hak-haknya. Namun, bukannya mendapat solusi damai, pemerintah Myanmar justru melancarkan operasi militer berkali-kali untuk menumpas "pemberontakan" Rohingya. Titik puncaknya terjadi pada tahun 2017, ketika ribuan orang dibantai dan ratusan ribu lainnya mengungsi.
Tragedi Kemanusiaan yang Terus Berlanjut
Hingga kini, konflik Rohingya masih menjadi salah satu isu hak asasi manusia paling pelik di Asia Tenggara. Banyak dari mereka yang hidup terkatung-katung di kamp pengungsian, tanpa status, tanpa negara, dan tanpa masa depan yang jelas. Sebagian dari mereka mencoba mencari perlindungan ke negara lain seperti Bangladesh, Malaysia, dan Indonesia, namun nasib mereka tetap saja tidak menentu.
Penderitaan Rohingya bukan semata-mata kisah tentang intoleransi agama. Ini adalah tragedi sejarah yang berakar dalam kolonialisme, politik identitas, dan ketidakadilan sistemik yang diwariskan dari masa ke masa. Hingga dunia benar-benar membuka mata dan bertindak tegas, kisah pilu Rohingya akan terus bergulir, meninggalkan jejak luka di setiap generasinya.
Posting Komentar untuk "Mengungkap Sejarah Panjang dan Derita Etnis Rohingya: Dari Kejayaan Hingga Pengusiran Massal"